Gerilya sang Gerilya
Mengenang Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya
MEMORIES, notifikasi untuk
kenang hari ini tiga tahun lampau. Jejak perjalanan: We hope that you enjoy
looking back on your memories on this media, from the most recent memories to
those long ago. Tulisan ini diedit lagi, untuk menelisik susastra para pejuang
di belantara Gunung Kawi, bahwa, mereka pernah mencipta lagu-lagu kenangan,
salah satunya ialah Gerilya sang Gerilya.
![]() | |
Foto Laskar KRIS. Foto koleksi Wailan Langkay. (dax repro). |
Bertahun silam, soul
ayah saya ada di sekitar tanah ini, hendak menuju East Asia, Formosa: Tanah di
mana saya mencatat ‘Memanah Formosa dari Siam’, di depan National Stadium,
Bangkok.
Sekitar 1984, obsesi
ayah saya kuat untuk bersua Joop Warouw, karena menurut penuturan kawannya
sesama Permesta, bung Joop masih hidup di pulau 180 kilometer dari timur China.
Walau kakinya sempat tertembak, Joop ada di sana dengan kaki pincang. Entah!
Siapa peduli. Cerita
misteri, ikat kepala merah-putih. Derap sepatu berlari
di rimba raya serta desingan peluru menderas di kepala saya jika mendengar para
Eks-Permesta bersua dan ngobrol.
Malam berganti. Lebih
tiga puluh tahun silam dari obsesi yang saya sebut di atas itu.
Mata menuding Sky
Train merayapi kota. Mindset yang lupa. Subway sunyi, hurricane melanda.
Jalan-jalan basah,
cahaya guruh terpantul kaca-kaca menjulang. Ticket machine menelan serapah
traveler mengejar tiap jejak hilang di persimpangan tunggu.
Orang-orang. Kisah
anak manusia. Bilik membalik, pandangan berbalik, di sisi plank bertuliskan
“orphanages”. Fundamental point: siapa mereka. Atau, siapa kamu. Pernah
terpikir, beggar itu kerempeng-kerempeng.
Ternyata
assumption-ku ngaco! Homeless yang bersua malam itu di depan 7-Eleven Rama Rd,
tubuhnya tambun, hanya kulit dan bajunya dekills.
Kita makan, lalu
menyisahkan sedikit-sedikit, mereka makan sisa-sisa. Kita punya segala, bebas
kesana kemari. Mereka, dalam benak kita, terkungkung jalan yang terpenjara
ketiadaan, namun, boleh jadi kita lebih tersiksa dari mereka.
Tajuk di asiaone beberapa tahun silam cukup menyengat.
Aiam Cambhiranon, menjadi berita utama media seantero Thailand, sebab pengemis
di Wat Rai King ini mendonasikan uangnya one million baht [S$40,000], ke sebuah
kuil di dekat kota Bangkok. Aiam invalid, menderita polio dan gangguan bicara,
namun hatinya mulia.
Malam berikutnya hanya gerimis. 11-04, jendela
terkuak. Kelam di langit bersemu merah, kembali membaca: your memories of the
things you experience shall enrich you continuously…
Kemarin itu, saya berlari, membelok arah di sisi
Muangphol Mansion tuju Soi Kasemsan. Mendapati niteshift bolak balik pintu
mengelap lantai basah.
Di 01.23, cruiser gemuk menyeret badan gendutnya
menapaki tangga menuju 3rd floor, rambutnya basah badannya basah, hujan masih
menderas di Wendy’s house…
#Journey #MyThoughts!
Balik pada bait kedua di atas, tentang kawan ayah saya itu, Joop Warouw. Nama lengkapnya Jacob Frederick Warouw, ia dan kawan-kawannya yang membentuk Laskar Pemuda Republik Indonesia Sulawesi, PERISAI, di Surabaya. Gruop ini kemudian dikenal sebagai Kebaktian Rakjat Indonesia Sulawesi, KRIS.
Walau memang, tiada pertalian antara Aiam Cambhiranon dan Warouw, karena mereka hidup pada zaman berbeda. Aiam Cambhiranon hidup di masa di mana publikasi media begitu gencar. Warouw berada pada ketika di mana informasi banyak yang ‘dihartakarunkan’ atau ‘dibumihanguskan’ oleh kepentingan. Namun, menurut saya, kedua tokoh itu, Aiam Cambhiranon dan Warouw, layak disebut pejuang berani yang berpihak pada kemanusiaan di zamannya.
Lanjut tentang Joop Warouw.
Medio 1956, Warouw ditugaskan sebagai Atase Militer di Beijing. Letnan Kolonel Ventje Sumual menggantikannya sebagai Komandan TT-VII/ Indonesia Timur. [Morrison, James (1999). Feet to the Fire: CIA Covert Operations in Indonesia, 1957-1958 [Kaki di atas Api: Operasi-Operasi Rahasia CIA di Indonesia, 1957-1958] (dalam bahasa Inggris). Naval Institute Press].
Walau memang, tiada pertalian antara Aiam Cambhiranon dan Warouw, karena mereka hidup pada zaman berbeda. Aiam Cambhiranon hidup di masa di mana publikasi media begitu gencar. Warouw berada pada ketika di mana informasi banyak yang ‘dihartakarunkan’ atau ‘dibumihanguskan’ oleh kepentingan. Namun, menurut saya, kedua tokoh itu, Aiam Cambhiranon dan Warouw, layak disebut pejuang berani yang berpihak pada kemanusiaan di zamannya.
Lanjut tentang Joop Warouw.
Medio 1956, Warouw ditugaskan sebagai Atase Militer di Beijing. Letnan Kolonel Ventje Sumual menggantikannya sebagai Komandan TT-VII/ Indonesia Timur. [Morrison, James (1999). Feet to the Fire: CIA Covert Operations in Indonesia, 1957-1958 [Kaki di atas Api: Operasi-Operasi Rahasia CIA di Indonesia, 1957-1958] (dalam bahasa Inggris). Naval Institute Press].
Sejarah tak banyak menulis tentang Warouw. Namun, dari berapa sumber menyebut, dia yang memulai Perang 10 November di Surabaya, terpicu tertembaknya Brigadir Jenderal Aubertin Walter Sothern Mallaby, Komandan Brigade 49 Divisi India bagian dari Allied Forces Netherlands East Indies, bertugas sebagai pimpinan tentara Inggris untuk Jawa Timur.
Disebutkan, pada 30 Oktober 1945 sekitar pukul 20.30. Mobil Buick yang ditumpangi Brigadir Jenderal Mallaby berpapasan dengan sekelompok milisi Indonesia ketika akan melewati Jembatan Merah. Terjadinya baku tembak dan Brigadir Jenderal Mallaby tewas oleh tembakan pistol, ‘katanya’ dari pemuda Indonesia yang sampai sekarang tidak diketahui identitasnya.
Inggris naik pitam, perang berkobar. Berapa sumber yang saya wawancarai terkait peristiwa di Jawa Timur itu menyebut, Warouw-lah yang menembak Mallaby.
Menulis tajuk ini seraya melantunkan lagu, yang, kata ayah saya, irama dan syairnya dicipta Joop Warouw. Chorus: Gerilya sang Gerilya | gerilya, gerilya Gunung Kawi | tua dan muda, laki wanita | bersatu padu di dalam gerilya | menghantam mengusir membasmi penjajah | itulah tekad kita Gerilya Gunung Kawi…
Disebutkan, pada 30 Oktober 1945 sekitar pukul 20.30. Mobil Buick yang ditumpangi Brigadir Jenderal Mallaby berpapasan dengan sekelompok milisi Indonesia ketika akan melewati Jembatan Merah. Terjadinya baku tembak dan Brigadir Jenderal Mallaby tewas oleh tembakan pistol, ‘katanya’ dari pemuda Indonesia yang sampai sekarang tidak diketahui identitasnya.
Inggris naik pitam, perang berkobar. Berapa sumber yang saya wawancarai terkait peristiwa di Jawa Timur itu menyebut, Warouw-lah yang menembak Mallaby.
Menulis tajuk ini seraya melantunkan lagu, yang, kata ayah saya, irama dan syairnya dicipta Joop Warouw. Chorus: Gerilya sang Gerilya | gerilya, gerilya Gunung Kawi | tua dan muda, laki wanita | bersatu padu di dalam gerilya | menghantam mengusir membasmi penjajah | itulah tekad kita Gerilya Gunung Kawi…
![]() |
Sukarno, ketika Mampir di Markas KRIS Yogyakarta. Foto koleksi Wailan Langkay. (dax repro). |
Jurnalis Randy Wirayudha, di news.okezone.com, 14
November 2015, menggambarkan peristiwa Surabaya pada tulisan berjudul,
“Surabaya Inferno yang Gegerkan London & Mengundang Simpati AS”.
Di bawah ini saya mengutip paragraf kedua dan ketujuh
dari tulisan Randy Wirayudha:
“Dengan persenjataan seadanya, para petarung republik
yang baru berdiri itu bertahan mati-matian. Kendati Kota Surabaya digempur
habis dari darat, laut dan udara hingga menjadikannya lautan api, Pasukan
Divisi Kelima India, Ball of Fire, pimpinan Mayjen Robert Eric Carden Mansergh,
masih kesulitan menduduki kota sepenuhnya.” – (paragraf kedua).
“Setelah membombardir Surabaya selama tiga hari sejak
10 November 1945, Mansergh masih belum puas dan masih butuh tambahan kekuatan.
Mansergh minta tambahan delapan pesawat tempur P-47 Thunderbolt, dua De
Havilland Dh.88 Mosquito, 21 tank Sherman dan sejumlah kendaraan lapis baja
Bren Gun Carrier.” – (paragraf ketujuh).
Waktu dan kenangan pernahkah kembali? Berpuluh tahun
berlalu, saksi mata-saksi mata telah kembali mengabu di peraduan bumi.
Malam menderas. Saya dan seorang kawan bercerita
panjang lebar di warung makan tepi Kuningan. Mendiskusi foto-foto lama, yang
dalam perjalanan waktu akan sirnah. Tinta terhapus masa, meluruh. Di depan
World Trade Center San Salvador, mengambil gambar, kota dan malam yang
diterobos cahaya.
Teman saya berkisah berdiskusi itu Wailan, ayahnya
adalah pejuang KRIS. Foto yang saya lampirkan di tulisan ini terkait KRIS,
adalah koleksi Wailan.
Jauh sesudah 10 November 1945, siapa yang mengenang
nyanyian Gerilya sang Gerilya? Pada 15 Oktober 1960, Jacob Frederick Warouw
berpulang di Tombatu, Minahasa Tenggara, Sulawesi Utara, Indonesia.
Pusarahnya lalu dipindah ke tempat leluhurnya, di
Remboken, Minahasa. Kampung di tepi telaga Tondano. Lokasi pusaranya di sebut
Watu Tepe, di sana angin selalu menderas. Bila malam lampu-lampu memantul di
air telaga yang menghitam, perahu nelayan ada satu-satu. Di seberang,
wanua-wanua dalam sepi, seperti mimpi yang masih terjajah hingga hari ini. (*)
Sajak bagi Wanua
berapa kampung dibakar,
nyala-nya menyaru senja,
lebih merah…
ratakan, to’o-token,
ratatotok…
badan basah peluh di basaan
suraro melintas padang tandus,
tak pernah kembali
hampar ilalang toulour
gerilya politik hari ini
moraya merayu-rayu basaan
Story of Aiam Cambhiranon
Link yang hilang: Thai beggar Aiam Cambhiranon donates $40.000 to temple near Bangkok
Comments
Post a Comment