Laut, Cinta, dan Sisa-Sisa
Oleh: Daniel Kaligis

A NAUTICAL mile, sampah kita ada di sana,
melayang, tenggelam, didebar-debur gelombang menghambur ke selat ke pantai ke
relung jiwa. Betapa, ternyata cinta kita bertabur sisa-sisa.
Suatu ketika. Di bening sore, di seputar
batu-batu Megamas, kami menulis, menggambar, mengambil gambar, membuat foto
kenangan: saya, Dedew, Finda, Jamal, Arthur, Ireine.
Lalu, kami tulis sajak estafet, masing-masing
sebaris. Ada tersisa dalam benak, yang saya ingat ‘cawan’. Entah Jamal
mememorize atau mendokumentasikan ‘pesta harap’ berbagi sloki. Ingatan ini
terdampar di ujung 2007.

Lebih setahun lewat, dari belantara beton
ibukota saya bersuara dalam “WISH”: "Sustainable development calls for
wise management of natural, built, and sociocultural resources in destination
areas as resources are used in time by tourism and the local population as
well". Can't wait to see, what after WOC. (11 May 2009 at 03:52)
Seketika Annashka Mozhayev, kawan yang
tinggal di UK bilang, “Palingan Manado jadi kumuh.” Antje tentu punya argumen
bagi jawabannya.
Matulandi Paat Lontoh Supit, pegiat
Masyarakat Adat Nusantara, bertanya dalam harap, “Masyarakat kiranya termasuk
sebagai pihak yang beroleh manfaat dari Deklarasi Manado.”
Kota itu, serta alam sekitarnya, begitu
mengesankan. Berkunjung ke sana saban kali membawa cerita. Bersua kawan,
berbincang, bersua macet. Orang-orang berseliweran di mall sejuk, bila berpapas
senyummu sumringah.
Awal 2018, sehari dua ada di sana, saya
menulis tentang “Pembangunan Lingkungan dan Pilih Pemimpin”, lalu mengirimnya
ke teman journalist. Pada artikel itu, yang coba saya garisbawahi, dari
perubahan yang terus terjadi pada semesta: Kritik terhadap “pembangunan dan
dampak pembangunan” belum mendapat tempat pas di masyarakat, jika ada, maka
nikmatilah bully berkelanjutan di social media.
Berapa banyak pembela sistem berkeliaran
menjanjikan perubahan tatanan, mindset, struktur pembangunan berkelanjutan, dan
keberpihakan? Masih mimpi!

Pembangunan overpass tol Manado – Bitung
masih ada di headline. Berikutnya ada roadmap pembangunan infrastruktur
pariwisata, sektor-sektor unggulan lain.
Berapa program masih dianggap beban kerja
‘gemuk’. Dengar-dengar program penanggulangan kemiskinan perkotaan masih
bergeliat, entah seperti apa progressnya. Walau, berita perpolitikan lebih sexy
diumbar media. Apalah daya kisah laut, hanya badai hujan banjir yang sudah jadi
agenda rutin dan dianggap angin lalu.
Pikiran menggelayut ke masa silam…
Pernah datangi Bunaken dari pante Liang,
jalan-jalan di hutan tepi Alung Banua, nyelam, snorkeling, berenang dari pagi
hingga senja dengan kawan-kawan dari club med, bercengkrama di bayang mangrove
manakala lampu-lampu cottage meredup.
Di lingkar selatan, seputar Arakan, saya
berenang di Napo Piring. Berperahu bersama nelayan yang membudidaya rumput
laut. Berjalan hingga jauh di ujung tanjung, membaui musim teri yang anyir
ketika perempuan-perempuan mengangkat ikan-ikan itu dalam keranjang dari laut
dangkal menuju pantai, menuju para-para, menuju dapur.

Di sana, di Arakan dengan para aktivis
Jaringan Pemetaan Kampung, dan Pengelolaan Pesisir. Banyak isi diskusi yang
telah terlupa, tentang kedaulatan orang kampung, hutan adat, pemberdayaan
tetek-benget bernuansa kampung. Masih ingat nama-nama aktivis itu, Ati, Billy,
Cinta, Destu, Jerry, John, Karel, Lily, Ona, Windy, siapa lagi ya? Lupa!
Di titik timur, melintas Pulisan, Sera-waya,
Marinsow. Menghirup pagi di aroma amorphophallus. Ah, waktu itu, sudah lama
sekali. Datang ke sana mengamat hutan pantai nan rawan. Pesisir Wori hingga
Likupang. Benarkah growth pole mampu menstimulasi kehidupan ekonomi rakyat?
Hasil laut dari sana ramai diangkut pick-up dan di jual di pasar rakyat.
VISION: Indonesia sebagai poros maritim
dunia. Apa kabar rencana aksinya? Regulasi menyebut, mimpi ini dibuat sebagai
upaya memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Itulah
mengapa kebijakan ini dituang dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor
16 Tahun 2017.

Medio 2017, Arif Havas Oegroseno, Deputi
Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim Kemenko Bidang Kemaritiman, menyebut
bahwa, untuk dapat mewujudkan cita-cita sebagai negara maritim yang kuat, maju
dan mandiri, perlu keterlibatan semua pihak: pemerintah pusat, pemerintah
daerah, industri dan masyarakat.
Ada strategi dan rencana aksi, dalamnya
termasuk penegakan kedaulatan, hukum, keselamatan di laut, dan terlaksananya
tata kelola kelautan. Boleh tanya, “di mana ruang rakyat, dalam hal ini
masyarakat pesisir nelayan dan seterusnya, di mana peran pemerintah daerah –
apa yang sudah dikerjakan sejauh ini di wilayahnya terkait aksi menunjang
gerakan ‘Indonesia Poros Maritim Dunia’.
Kata tanya berderet-deret, karena urusan
lingkungan dan keberpihakan pada rakyat kecil memang sedikit porsinya.
Berapa banyak nelayan miskin di tanah-air
kita. Hari Nelayan 2016, Kementerian Keuangan Republik Indonesia mengucap
salam, "Semoga nelayan kita lebih sejahtera."

Data BPS 2014, rumah tangga di Indonesia yang
mengandalkan hidupnya dari menangkap ikan di perairan umum dan laut, sebanyak
964.231 atau sekitar 1,5 persen dari rumah tangga di Indonesia.
Data BPS September 2017, jumlah penduduk
miskin dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan di
Indonesia mencapai 26,58 juta orang.

Saya berasumsi di luar data. Ketika cerita
dan berita orang-orang yang turun ke jalan dalam rangka demo apa saja, adalah
separuh wajah kemiskinan kita, sisanya mengendap di dalam otak. Miskin karena
tidak mau bergerak menjadi beradap dan smart. Ini tugas bersama untuk dicari
solusinya.
Gerak Tol Laut memberi dampak, paling tidak
harga BBM di berbagai lokasi jadi masuk akal.
Pembangunan infrastruktur di daerah-daerah —
khususnya kawasan timur Indonesia — mengentara dan terus digenjot. Entah yang
beroleh untung dari mahalnya harga-harga rasa terusik. Kita, orang Indonesia,
punya mimpi yang harus segera diimplementasikan hari ini: tiap tangan terus
memunguti sisa aktivitas, sampah dan dosa, menaruhnya di tempat layak,
membangun negeri ini dengan cinta.
Dalam kenang, kutera: Jarak menjauh di
butiran kabut, senja sebentar lagi jingga. Rindu mengkristal, tembang nista
dalam rahim sunyi. Pernah kita terjaga di bawah dedaun ketika pegunungan masih
remang, lalu berlari ke tepi samudera di mana asa menggunung. Burung-burung
laut mengepak sayap putih mengungsi bersama mimpi, mengejar kunang-kunang di
batas cakrawala. FAIRIES: my heart being lit with flame. (7 May 2010 at 13:27).
Bertahun merantau, lalu kembali. Laut,
pantai, hutan, jurang, masih sama. Hanya plastik terus menyeruak. Tangan dua
hanya mampu mengangkat satu-satu. Ada banyak tertiup hembus musim, terbakar,
terbiar.
Masih menggambar laut gelombang tebing gunung
awan. Itu saya, kawan memberi inspirasi dari sajak-sajak, Oppy AilSie dalam my
heart being lit with flame:
begini jadinya, dia dan jingga sang waktu
mengoyak rindu di pelupuk ufuk
cinta tak pernah salah seperti mentari tak
pernah tersesat
meski wajah malam selalu terbenam kelam gelap
menista rahim kesunyian pekat di entah kapan meski remuk telah berganti
redam...
with the eternal flame hope never dies!
Pasti Oppy AilSie ingat sajaknya bertajuk
FAIRIES.
Saya. Berguman sendiri untuk debur.
CATASTROPHIC: you sang to me, "the silence is slowly killing me." and
time is slowly passing me by || I fell in love with you as a friend.
#WaterSplashing
Berapa mile mendayung, berapa langkah
dikayuh, masih dengan cinta, pada laut gelombang dan amuk badai, sisa-sisa, dan
cinta pada dirimu.
Siapa? Jawab sendiri-sendiri. (*)


Comments
Post a Comment