edelweiss



Oleh:
Daniel Kaligis

KEMBALI di sana, di persimpangan masa.

Pantai nan rupawan, menakala melintas selat Gaspar, dari jendela pesawat, memantau debur gelombang yang jauh menepi di nusa, membentuk gurat-gurat putih, dan biru memantul langit, awan berlari. Pulau Lepar, pulau Mendanau, pulau Pongok, sebaran pulau-pulau kecil dan tak ternama di timur tanah emas, Swarnnabhūmi. Di sana, Kepulauan Bangka Belitung.

Batu Berlayar. Sumber Foto: lifehacked1st.com
Maret hampir usai saat tuju ke sana, dengan sebuah coretan kecil:

umbar asumsi, memasung obsesi,
bibir belum jawab banyak ragu

kisah kita pagi ini,
saat embun basah di tempatnya bertengger,
cahaya belum menguapkan basa-mu berbaur atmosfir,
kuhirup sejuk...

Panduan lokasi kusiapkan, data sekunder, recorder, notes, alat tulis, kamera, dan ransel pakaian. Menuju kantor, bergabung dengan tim, lalu ke airport sekitar 14.30 pm. 

Tunggu saat take-off, seraya membaca panduan. Selat Bangka jadi antara pulau Sumatera dan pulau Bangka, selat Gaspar memisah pulau Bangka dan pulau Belitung. Di utara laut Cina Selatan, di selatan Laut Jawa dan pulau Kalimantan, di timur dipisahkan dari pulau Belitung oleh selat Karimata.

Tiba di sana sore, untuk tugas liputan. Pesan seorang kawan meminta sajak ‘edelweiss’. Di tahun itu, mailing list sastra pembebasan ramai nian orang-orang menulis. 

Facebook, demikian juga, jadi media penyalur hasrat menumpahkan semua isi hati isi perut isi otak yang tergolong baru, di situ penulis lama, penulis baru tumplek dengan text-text. Saya baru belajar. 2009.

Dan mulai...

Kau sapa lara:
Kecil, putih, cerah.
Salju menggengam seluruh perbukitan terjal,
ia merekah bak cahaya.

Walau lara,
dirimu membuncah selamanya di keabadian nan sunyi.

Melambai diterpa taufan dan angin musim,
merasuk imaginasi misteri hanya untuk memanggilmu edelweiss.
Berkali diedit, sajak ini nanti published pada November, ada lebih tujuh bulan dalam ruang inbox di 2009, dibahas bersama berapa teman, kemudian terbit dengan tajuk Sapa Lara.

Text Sapa Lara ditanggap Marlyane Elean, 6 November 2009 at 19:49 ·

https://www.linkedin.com/pulse/sapa-lara-daniel-kaligis/
Edelweiss...
Di ujung bumi nan diam
Dibelai sepoi bayu nan beku
Sendiri melayang pandang

Seantero jagad...

Dari musim ke musim,
adalah janji kepada alam
harus setia di keabadian

Saya, manakala menulis Sapa Lara, sementara menikmat sore di pantai Pasir Padi, Pangkal Pinang. Menyeruput es kelapa muda, memandangi gelombang berderai di pasir hitam, dan senja yang usur. Mengapa ilusi ada di gunung-gunung beku, merindu edelweiss?

Malam, menyusur kota, lampu seperti serentak mewarna tiap sudut yang dapat dirangkum cahaya. Datang ke ruang sidang, mengambil berapa spot foto, interview, lalu kembali ke hotel Bumi Asih.

Membaca komen berjejar di timeline, kupetik salahsatunya:


Embun yang kau minum,
sejuk kuteguk...
Menghembus api pada telaga yang memerah
Mengirimkan salam bagi sang bunga...

Sketsamu tak dapat ditiru matahari
Karena kau menaklukan surga dengan cara sederhanamu
Meski sang bayu bawa terbang aromamu
Kau diam, karena dendam bukan style-mu

Evert Maxmillan, sembilan tahun silam.

Beberapa komen dihapus, atau orangnya menghilang dari jagad facebook, mencari dunianya sendiri. Saya menggarisbawahi edelweiss untuk judul yang akan ditera pada suatu ketika.
Bunga ini menjadi lambang keabadian, disebut juga sebagai leontopodium alpinum, adanya di tempat jauh, biasanya di gunung-gunung di seluruh dunia, berada di ketinggian 800 meter - 2000 meter dari permukaan laut.

Masih membayang ceruk-ceruk bumi yang digali mesin-mesin pengeruk ketika memasuki ruang tunggu Depati Amir Airport.

Kembali membaca panduan. History dan mystery. Kepulauan Bangka Belitung menjadi jajahan Inggris sebagai ‘Duke of Island’, pada 20 Mei 1812. Kekuasaan Inggris berujung setelah konvensi London 13 Agustus 1824, terjadi peralihan kekuasaan daerah jajahan Kepulauan Bangka Belitung antara M.H. Court, yakni pihak Kerajaan Inggris, dengan K. Hcyes, dari Kerajaan Belanda, di Muntok pada 10 Desember 1816. Kekuasaan Belanda mendapat perlawanan Depati Barin dan putranya Depati Amir yang di kenal sebagai perang Depati Amir yang berlangsung pada 1849 hingga 1851. Kekalahan perang Depati Amir menyebabkan Depati Amir diasingkan ke Desa Air Mata Kupang, Nusa Tenggara Timur.

Kenang selalu mengekal pada text. Berharap kembali di sana, di pantai-pantai tropis, di mana matahari selalu menginspirasi setiap huruf membentuk kata keabadian. 


(*)
Sapa Lara adalah sajak yang diminta Bemalia. 



Comments

Popular Posts