Peribadatan dan Politik
![]() |
| Sumber foto: https://www.electoral-reform.org.uk/ |
“We live in a world in which politics has
replaced philosophy”
Martin L. Gross
Journalist, social scientist, and the author
of National Suicide, The Government Racket, and A Call for Revolution
Oleh:
Daniel Kaligis
YURIKO, kawan yang bermukim
di Singapore, bertanya pada status media sosialnya: “Apakah gereja bisa ikut
berpolitik secara organisasi? Kalau iya, apakah ada aturan tertulis mengenai
hal itu dalam tatacara gereja? Dalam berapa menit saja, status Yuriko menuai
tanggapan dari berbagai pihak.
Berbagai alasan, membikin orang seakan alergi pada terminologi ‘politik’. Apakah tentang janji-janji? Entahlah!
Padahal, kata Aristoles, politik adalah usaha
yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama. Lalu, mengapa
perdebatan tentang politik itu selalu ramai di masyarakat? Dibenci sekaligus
dirindukan.
Tentang tanya Yuriko di bait pertama itu, ada
banyak argumentasi mengomentari. “Setahu saya, gereja cukup jadi ‘garam’ saja. Barangkali
ada gereja yang suka mempertontonkan kekuatannya, dan tampil, bebas di dunia politik,”
ujar Joni
Pinontoan.
Jesiko
Mandang punya tanggapan berbeda. Bagi dia politik pada tataran
gereja adalah pewartaan kabar keselamatan, yakni membawa kabar baik.
Zaman, atau waktu yang berganti, membuat
atmosfer politik berubah makna, kata Yuriko. Kekuasaan menggeser cara pandang. “Mengikut
pada rel yang benar, gereja tidak boleh berpolitik,” tegas Michael Chandra Pitoy.
Yuriko memang hanya membatasi soal pada
kalangan Kristen, sehingga yang menanggapi status dia adalah kalangan Kristen
saja. Meski, dari sudut pandang lain, politik adalah segala sesuatu tentang
proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik. Politik juga merupakan aktivitas
yang diarahkan untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan di masyarakat.
Anda, sebagai pembaca, tentu punya sudut
pandang sendiri.
Saya beranggapan, tertulis atau tidak, gereja
adalah lembaga politik, dan melaksanakan fungsi-fungsi politis. Bahwa semua
orang terlahir merdeka politik, dan hak-hak politik itu didukung secara
internasional dalam universal declaration of human rights.
![]() |
| Sumber Foto: https://us.macmillan.com/podcasts/podcast/i-love-you-but-i-hate-your-politics/ |
Ini pandangan Neo Eddy Rawis,
“Gereja bukan
lembaga berpolitik. Yang berpolitik anggotanya, sebab anggota gereja adalah
manusia. Jadi, jika manusianya berpolitik harus dilihat sebagai bagian
terpisah. Dasar bergereja adalah alkitabia yakni kasih. Kasih tidak membuat
manusia terkotak-kotak seperti cara-cara politis. Jika jemaat ingin berpolitik,
silahkan! Tapi, misi gereja berbeda dengan misi politik.”
Menelisik judul: Peribadatan dan Politik. Orang
lebih suka mendefinisikan peribadatan pada tatacara upacara yang ‘katanya’
ditujukan pada sang pencipta. Walau, dari banyak kitab kita dapat melihat bahwa
contoh-contoh peribadatan adalah perbuatan mulia dan baik yang ditujukan pada
sesama manusia. Saya tak ingin jauh membahas makna kata peribadatan itu yang
lebih tertuju pada ruang-ruang di mana orang berkumpul, menyanyi, membaca doa,
dan segala liturgi yang menyertainya, sebab saya bukan ahli tentang peribadatan
itu.
Namun, menurut saya, menarik membahas status
Yuriko sebab politik menjadi praksis kita sehari-hari. Bagi saya politik itu
adalah tentang pilihan-pilihan, contoh sederhana adalah ketika kita menentukan
menu makanan, di saat itu kita sementara mempraktikan hak kita dalam
berpolitik.
Apa ‘dosa’ kata ‘politik’ itu sehingga
hak-hak yang diberi pencipta sejak lahir dipagari asumsi? Pertanyaan saya pada
komen di timeline Yuriko belum terjawab sementara saya menuliskan opini ini.
Semua organisasi menjalankan fungsi politik. Sekolah-sekolah
juga, universitas juga. Perusahaan menerapkan azas-azas politik, keluarga juga
melakukan hal yang sama sekecil apa pun itu. Pedagang, petani, buruh, karyawan,
tentara, polisi, pada semua tataran manusia ada hal terkait politik sesuai
fungsi dan kegunaannya.
Saya memandang, gereja dan tempat peribadatan
itu sementara menjalankan fungsi-fungsi seperti yang dimaksud dalam terminology
‘politik’. Mereka memilih pengurus, mengangkat pemimpin, bermusyawarah,
menentukan aturan dan kebijakan serta sanksi-sanksi. Semua itu adalah praksis
politik.
Tanpa mengabaikan latar kunci sebuah praksis
politik, kekuasaan politik, legitimasi, sistem politik, perilaku politik,
partisipasi politik, proses politik, dan seluk beluk partai politik, dan segala
realita persoalan politik yang terjadi di ruang kita saat ini. Saya,
beranggapan, bahwa politik itu adalah bentuk hak kemerdekaan yang melekat pada
manusia sejak manusia itu hadir di muka bumi.
Paragraf yang barusan anda baca di atas bukan
kesimpulan. Anda berhak menafsir, anda punya cara pandang dan argumentasi
sendiri.
Bagi saya, politik adalah juga peribadatan,
dan peribadatan itu adalah politik yang harus dilindungi secara tegas dan nyata
oleh penyelenggara negara. (*)




Comments
Post a Comment