Peristiwa G30S 1965 Dalam Tinjau Ulang
Wijanto SH
Sarasehan Leuven Belgia
Pada Sabtu, 23 September 2000, generasi
muda Indonesia di Leuven menyelenggarakan sarasehan dalam rangka Forum Diskusi
Sejarah Indonesia. Tema pokok diskusi ini "Peristiwa September 1965 dalam
Tinjauan Ulang". Generasi muda Indonesia pasca1965 telah dipaksa menelan sejarah
tanpa pengolahan ilmiah, dan telah disalah gunakan untuk melegitimasi rezim
Orba. Mereka berkeinginan untuk mawas diri, mengadakan tinjauan ulang atas
peristiwa 1965, yang mereka rasakan sangat penting dan berguna.
Hadir dan memberikan ceramah di dalam sarasehan
ini Sitor Situmorang, Hersri Setiawan, Coen Holtzappel, Paul Mudikdo, Ibu Nani
Nurachman Sutojo, Carmel Budiardjo. Para peserta sarasehan selain dari Belgia,
juga dari Belanda, Jerman dan Prancis. Sarasehan dipimpin bergiliran oleh Romo
Francis Purwanto, Warsito, Romo Al. Andang dan Lena Simandjuntak.
Ceramah Sitor Situmorang berjudul “Menelusuri
Sejarah Sebagai Dialog Terus-Menerus Dengan Diri Sendiri Dan Sesama”. Sitor
adalah pengarang dan politikus sekaligus. Mantan anggota MPR/DPR-GR, Ketua LKN
(Lembaga Kebudayaan Nasional), dan pernah dipenjarakan oleh rezim Suharto.
Hersri Setiawan, seniman yang pernah diasingkan di Pulau Buru, memberikan
ceramah berjudul “Sekitar G30 S (Sebuah Renungan Pribadi)”. Carmel Budiardjo,
pendiri “Tapol” di London, yang juga pernah dipenjarakan oleh rezim Suharto,
menyampaikan makalahnya berjudul “The 1965 Tragedy Overshadows Indonesia’s
Present And Future” (Tragedi 1965 membayangi Indonesia masa kini dan masa
datang). Paul Moedikdo memberikan makalah yang berjudul “Peristiwa 1965:
Gerakan 30 September, Penghancuran Partai Komunis Indonesia Dan Dampaknya”.
Paul Moedikdo seorang sarjana hukum, pernah mengajar di Universitas Parahyangan
Bandung dan pada awal jaman Orba, pernah menjadi anggota KASI (Kesatuan Aksi
Sarjana Indonesia). Nani Nurachman Sutoyo memberikan makalahnya yang berjudul
“Pengumpulan Nalar dan Rasa: Rekoleksi Ingatan Dan Refleksi Pengalaman Atas
Peristiwa G30S/PKI”. Nani Sutoyo, puteri Jendral Mayor Sutoyo yang dibunuh pada
pagi buta 1 Oktober 1965, saat ini pengajar psikologi di Universitas Indonesia
Jakarta.
Sarasehan ini tidak dimaksud untuk mencari
siapa yang salah dan siapa yang benar di dalam peristiwa 30 September 1965.
Walaupun demikian, di dalam diskusi selanjutnya tidak bisa dihindarkan, bahwa
sementara peserta ingin mencari tahu siapa pelaku utama dan siapa yang sekedar
tersangkut, di dalam peristiwa yang kemudian menimbulkan trauma dalam kehidupan
bangsa Indonesia. Justru persoalan “ingin tahu” demikian itu, menyebabkan
diskusi dalam sarasehan menjadi hidup.
Berbicara mengenai masalah salah atau tidak,
siapa salah siapa tidak, akan bergantung kepada pendapat masing-masing. Ada
yang mengemukakan, bahwa PKI yang memimpin G30S; atau lebih tegas lagi, bahwa
G30S adalah kudeta yang dilakukan oleh pihak PKI. Andaikata gerakan ini
berhasil, seorang pembicara malahan mengatakan, maka akan terbunuhlah 27 juta
penduduk Sumatra. Peserta lain menyangkalnya dengan beralasan, PKI sebagai
organisasi atau lembaga tidak bisa dikatakan atau dibuktikan tersangkut pada
peristiwa G30S. Sementara itu Hersri Setiawan menolak pendapat seorang
pembicara yang mengatakan, bahwa sampai sekarang belum ada seorang pun dari PKI
yang pernah berani mawas diri. Ditegaskan oleh Hersri, bahwa mawas diri bahkan
telah dikemukakan secara total oleh Sudisman sebagai pimpinan CC PKI di depan
Mahmillub. Ia bahkan menamai pidatonya tidak sebagai pidato pembelaan diri,
tetapi pidato pertanggungjawaban selaku pimpinan Partai. Di dalam pidato itu
Sudisman dengan terang telah menyatakan otokritik, dan dengan rendah hati
sekaligus juga meminta maaf pada seluruh rakyat Indonesia.
Sementara itu Carmel menegaskan pendapatnya,
bahwa Suhartolah yang menjadi pelaku utama peristiwa G30S. Pikiran ini
didasarkan pada, pertama: bahwa Suharto tidak ikut menjadi target pembunuhan
para jendral pada 30 September 1965; kedua: bahwa Jendral Suharto sudah
diberitahu oleh Kol. Latief akan terjadinya G30S, tetapi tidak mengambil
tindakan untuk mencegahnya; dan ketiga: bahwa Markas Kostrad tidak menjadi
sasaran serangan pihak G30S. Seorang pembicara memperingatkan Carmel, agar
jangan menyangkut pautkan antara pembuktian secara politis dan pembuktian
menurut hukum. Pembicara lain lagi mengatakan, bahwa tiga butir alasan Carmel
itu dapat dipandang sebagai bukti politik, yang selanjutnya dapat dipakai
sebagai dasar menyusun mosi untuk menuntut Suharto ke pengadilan. Tetapi tiga
hal tersebut baru merupakan deduksi, sebuah kesimpulan yang tidak dapat dipakai
sebagai bukti menurut hukum. Kalau butir-butir itu saja yang dipakai sebagai
bukti, maka pengadilan mana pun akan membebaskan Suharto dari tuduhan.
Ada pandangan yang menyatakan, bahwa
peristiwa G30S diprakarsai oleh lembaga intelijen Indonesia sendiri, yang pada
waktu itu dipimpin oleh Ali Moertopo. Pendapat yang demikian didukung oleh Coen
Holtzappel.
Sudah barang tentu tidak akan ada
habis-habisnya membicarakan hal ini. Karena masalah siapa otak, siapa pelaku,
dan siapa yang tersangkut peristiwa G30S, masih merupakan bahan penyelidikan
yang tidak mudah. Presiden Sukarno telah meninggal dunia tanpa pernah diperiksa
dalam pengadilan. DN Aidit telah ditembak mati segera sesudah ditangkap.
Jendral AH Nasution baru-baru ini juga sudah meninggal. Jendral Suharto konon
dikatakan sakit, apalagi sakit otak, sehingga sukar berbicara dan berpikir.
Oleh karenanya benar kesimpulan diskusi
Leuven yang disampaikan pada acara penutup sarasehan yang dipimpin oleh Romo
Al. Andang. Ia menyatakan, bahwa di dalam membahas peristiwa 1965 hendaknya
dibedakan antara peristiwa yang terjadi pada 30 September 1965, dan
peristiwa-peristiwa yang terjadi berikutnya, yaitu yang berupa pembantaian
dengan keji ratusan ribu rakyat Indonesia. Peristiwa kekejian yang kemudian
menjadi trauma masyarakat yang tidak mudah dihilangkan .
Bagaimana peristiwa 30 September 1965 dapat
terjadi, siapa otak dan pelaku utamanya, semuanya merupakan bahan untuk
penyelidikan yang harus diteruskan. Kesimpulan-kesimpulan yang didapat sampai
sekarang masih memerlukan penelitian dan pembuktian lebih lanjut.
Tetapi mengenai pembantaian ratusan ribu
manusia Indonesia yang dilakukan sesudah peristiwa 30 September itu sendiri,
merupakan kenyataan gamblang yang pernah disaksikan oleh orang banyak.
Pembantaian yang terjadi sesudah 30 September 1965 merupakan kenyataan yang
dapat dihukum, atau di dalam istilah Belanda merupakan feit yang strafbaar.
Suatu kejahatan terhadap kemanusian, atau crime against humanity. Dari kejadian
itu yang paling penting ialah adanya pengakuan, bahwa tindakan keji tersebut
merupakan crime yang tidak boleh terulang lagi. Dengan tidak diakuinya
perbuatan biadab tersebut sebagai crime, maka kekejian yang kemudian terjadi
pada peristiwa Tanjung Priok, Aceh, Timor Timur dan lain-lain lagi akan
dianggap sebagai perbuatan biasa yang boleh terjadi.
Peristiwa 30 September
Saya setuju sepenuhnya kesimpulan Sarasehan,
dengan berdasar pada makalah-makalah yang dibagikan, dan pendapat-pendapat
serta informasi yang disampaikan peserta di dalam diskusi.
Terhadap kesimpulan pertama, mencari tahu
duduk perkara kejadian G30S 1965, orang masih terus mencari, memperdebatkan,
mengajukan hipotesis mengenai segala aspek persoalan peristiwa tersebut.
Penyelidikan tentang bagian ini masih harus diteruskan. Tetapi tentang
kesimpulan bagian kedua persoalan sekitar G30S, yaitu peristiwa pembantaian
manusia yang merupaka crime against humanity yang strafbare feiten, adalah
rangkaian kejadian yang sudah jelas. Orang yang memerintahkan pembantaian ini
pun sudah dengan jelas menyatakan di dalam buku riwayat hidupnya sendiri.
Di dalam membahas bagian yang pertama dari
masalah, Coen J.G. Holtzappel, Guru Besar Universitas Leiden, mengemukakan
hipotesis, bahwa peristiwa 30 September 1965 adalah operasi militer intel MI6
dari Inggris dan CIA dari Amerika Serikat, yang melibatkan intelijen militer
Indonesia. Tujuan utama persekongkolan ini untuk menjatuhkan Presiden Sukarno, yang
didukung PKI, yang pada saat itu banyak membuat konflik anti-Barat. Ini jelas
dalam konfrontasi dengan Malaysia, yang disebut sebagai proyek nekolim Inggris,
dan manuver politiknya yang anti-kolonialisme Barat. Di samping itu pihak Barat
mengetahui, bahwa Presiden Sukarno memiliki konflik internal dengan beberapa
pimpinan TNI/Angkatan Darat. Selanjutnya Holtzappel menjelaskan, bahwa semula
Suharto bukan merupakan faktor yang diperhitungkan Barat. Tetapi pada akhirnya
Barat harus mendukung Suharto, sebab mereka menilai Suharto anti-komunis.
Menjawab pertanyaan peserta, ia membenarkan bahan-bahan mengenai keterlibatan
Suharto terhadap peristiwa 30 September 1965 menunjukkan bukannya “before” 30
September, tetapi “after” 30 September. Lebih lanjut Holtzappel menambahkan,
bahwa penelitian sejarah yang seimbang untuk lebih membuka latar belakang
sebenarnya peristiwa G30S sulit berkembang, disebabkan banyak saksi dan bukti
yang sulit dilacak bersamaan dengan perjalanan waktu. Dengan demikian jelas,
bahwa hipotesis Coen Holtzappel tidak bisa memberikan bukti jelas, tentang
siapa otak dan siapa pelaku utama peristiwa 30 September 1965.
Di dalam diskusi bagian ini ada pendapat yang
menyatakan, bahwa PKI lah otak dan pelaku G30S. Dan kalau gerakan tersebut
berhasil dan tidak ditumpas, akan musnahlah 27 juta rakyat Sumatra. Pendapat
ini dilontarkan demikian saja tanpa didasari alasan yang meyakinkan. Karena itu
peserta lain membantah pendapat tersebut dengan mengatakan, bahwa PKI sebagai
badan tidak dapat dituduh tersangkut dalam peristiwa 30 September 1965.
Lebih tegas lagi Carmel Budiardjo menyatakan,
bahwa Suharto lah otak dan pelaku utama peritiwa 30 September 1965, dan
karenanya harus diseret ke pengadilan. Dasar yang dikemukakannya adalah: 1.
Suharto tidak dimasukkan didalam target jendral-jendral yang dibunuh. 2.
Suharto telah diberi tahu oleh Kol. Latief akan terjadinya G30S tetapi diam
saja. Tidak mengambil tidakan pencegahan, padahal sebagai Panglima Kostrad dia
salah seorang pimpinan AD yang mempunyai kekuatan riel. Bahkan dia pun tidak
melapor kepada atasannya, yaitu Jendral Ahmad Yani, atau langsung kepada
Presiden Sukarno selaku Pangti ABRI. 3. Markas Kostrad, di mana Suharto sebagai
Panglimanya, pada tanggal 30 September 1965 tidak diapa-apakan oleh satuan
G30S. Oleh peserta lain Carmel diperingatkan, bahwa ketiga hal itu baru
merupakan dasar kesimpulan kejadian. Tetapi bukan bukti menurut hukum. Sehingga
kalau Suharto dibawa ke pengadilan, hanya berdasar ketiga pembuktian yang
demikian, ia akan dibebaskan oleh hakim atas dasar alasan kurang pembuktian
atau bahkan tidak dapat dibuktikan secara hukum oleh pengadilan. Sampai di sini
jelas,bahwa bagian pertama sekitar peristiwa G30S masih merupakan “teka-teki”
yang perlu diurai lebih lanjut.
Adapun tentang bagian kedua, yaitu peristiwa
yang terjadi sesudah tanggal 30 September 1965, yang berupa pembantaian manusia
yang dengan sengaja dilakukan, ini sudah menjadi kenyataan gamblang yang tak
seorang pun bisa membantahnya. Mengenai kejadian ini dan dampaknya diterangkan
dengan jelas oleh Paul Moedikdo.
Mengenai pembantaian manusia dan penghancuran
PKI ini Paul menunjuk Laporan CIA kepada Gedung Putih tertanggal 8 Oktober
1965, yang merujuk pada rapat sementara jendral TNI tanggal 5 Oktober 1965,
yang dipimpin Jendral Soeharto dan Jendral A.H. Nasution. Rapat ini
menghasilkan kesepakatan perihal pelaksanaan rencana penghancuran PKI (Robinson
p.283 n.25). Tanggung jawab atas rencana dan segala cara-cara pelaksanaan
operasi militer ini diakui dengan bangga oleh Jendral Soeharto. Didalam
otobiografinya dengan lugas dinyatakan:
“Sejak menyaksikan …. apa yang didapat di
Lubang Buaya, kegiatan saya yang utama adalah menghancurkan PKI, menumpas
perlawanan mereka di mana-mana, di ibu kota, di daerah-daerah, dan di pegunungan
tempat pelarian mereka. Mereka masih mencoba mendirikan kubu pertahanan sewaktu
kami mengejar mereka. Tetapi saya tidak mau melibatkan Angkatan Darat secara
langsung …. kecuali pada saat-saat yang tepat dan terpaksa. Saya lebih suka
memberikan bantuan kepada rakyat untuk melindungi dirinya sendiri dan
membersihkan daerahnya masing-masing dari benih- benih yang jahat.” (SOEHARTO:
Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya; 1989: 136).
Orang yang mengucapkan kalimat ini bukanlah
sedang berangan-angan. Ia seorang jendral yang berpengalaman tempur. Pada waktu
hal-hal di atas dipikirkannya, pada awal Oktober 1965, Jendral Soeharto de
fakto ialah penguasa militer tertinggi di Jakarta dan seluruh Indonesia.
Pernyataan dalam otobiografinya di atas mengungkap dengan gamblang bukan saja
tujuan operasi-militer di bawah pimpinan Jendral Soeharto, melainkan juga cara
pelaksanaan, modus operandi, atau barangkali boleh juga disebut strategi
operasi militer penghancuran PKI yang kemudian memang dilaksanakan.
Lebih lanjut Paul Moedikdo menjelaskan, bahwa
strategi Jendral Soeharto bercabang dua, yakni: 1. menggerakkan Angkatan Darat
sebagai lembaga mandiri didalam negara; dan 2. melibatkan rakyat dengan rekayasa
atau paksaan dalam pelaksanaan operasi militer.
Kedua butir tersebut di atas dijelaskannya
satu demi satu. Poin pertama ialah menggerakkan Angkatan Darat sebagai lembaga
mandiri. Jendral Soeharto memang ditugasi atau diberi wewenang oleh Presiden
Sukarno, untuk memulihkan ketertiban dan keamanan yang terganggu oleh
terjadinya peristiwa G30S. Tetapi operasi militer yang berupa tindakan
penghancuran PKI, dinilai melampaui batas wewenang yang diterimanya dari
Presiden Soekarno. Penghancuran PKI jelas bertolak belakang dengan kebijakan
yang hendak ditempuh Presiden Soekarno sebagai Pemimpin pemerintahan yang sah.
Jendral Soeharto menempatkan Angkatan Darat, yang pada waktu itu ada di bawah
pimpinannya, di luar jangkauan pemerintahan sipil dan sekaligus di atas hukum.
Satu dan lain alasan, karena mengabaikan ketentuan konstitusional yang
menetapkan Presiden Republik Indonesia sebagai Panglima Tertinggi ABRI.
Membuat Angkatan Darat mendiri dari
pemerintahan sipil, berarti membuat Angkatan Darat ibarat negara yang terpisah
di dalam struktur Negara R.I., tak terjangkau oleh pengawasan maupun hukum
negara. Angkatan Darat hanya tunduk pada hukum dan aturan Angkatan Darat
belaka, dan karenanya memiliki kekebalan terhadap hukum nasional yang berlaku
di wilayah Republik Indonesia. Operasi penghancuran PKI mencakup penangkapan,
penganiayaan, pemenjaraan dan pembunuhan masal bangsa Indonesia sendiri. Mereka
ini pada umumnya tidak bersalah, kecuali menjadi anggota atau simpatisan PKI,
partai politik yang pada waktu itu sah menurut hukum negara, dan malah disebut
partai teladan oleh Presiden Soekarno. Pasukan Angkatan Darat pimpinan Soeharto
menjalankan operasi penghancuran PKI tanpa tedeng aling-aling, tanpa ada
pencegahan atau teguran atas nama hukum oleh petugas hukum, seolah-olah
Angkatan Darat betul-betul memiliki kekebalan hukum.
Untuk penjelasan poin kedua didahului oleh
Paul Moedikdo dengan menyitir lagi otobiografi Jendral Soeharto halaman yang
sama: “Tetapi saya tidak mau melibatkan Angkatan Darat secara langsung dalam
pertentangan-pertentangan itu, kecuali pada saat-saat tepat dan terpaksa. Saya
lebih suka memberikan bantuan kepada rakyat untuk melindungi dirinya sendiri
dan membersihkan daerahnya masing-masing dari benih-benih yang jahat”.
Seterusnya Paul Moedikdo menyatakan, bahwa
melibatkan rakyat dalam operasi penghancuran PKI, satu dan lain agar rakyat
tidak melawan maupun mencegahnya, malah berbalik mendukung dan membantu
Angkatan Darat. Manuver ini dilakukannya dengan cara-cara berikut:
1. mengidentikkan G30S dengan PKI; 2.
mengingkari kemanusiaan orang komunis, dan menggambarkan mereka sebagai makhluk
kejam, asusila dan ateis; 3. menyalah gunakan rasa keagamaan untuk menghasut
dan menanam kebencian terhadap komunis; dan 4. menggerakkan demonstrasi masal
menuntut pembubaran dan/atau pembasmian PKI.
Untuk langkah pertama dilakukan a.l.dengan
cara media masa kiri dilenyapkan. Tiga surat kabar tentara, Berita Yudha,
Angkatan Bersenjata dan koran baru Api Pancasila, serta seluruh media pers
(radio, surat kabar dan majalah) yang ada dibawah ancaman pemberangusan, setiap
hari menyiarkan berita-berita yang disiapkan Angkatan Darat. Operasi konyol
G30S di Jakarta terus menerus digambarkan sebagai upaya kudeta yang didalangi
oleh PKI, atau pun sebagai pemberontakan PKI untuk menggulingkan pemerintahan
yang sah. Gerakan 30 September tidak disingkat dengan akronim G30S, melainkan
dengan G30S/PKI, sehingga pada PKI dilekatkan cap pemberontak brutal.
Untuk hal kedua, yaitu mengingkari kemanusian
orang komunis, penggambaran mereka sebagai mahluk kejam, asusila dan ateis.
Dilukiskan dengan rinci tentang pembentukan pendapat umum mengenai kebengisan,
kelicikan dan kebiadaban PKI dengan merujuk kepada Polisi Rahasia Nazi-Jerman,
Gestapo. Mula-mula perbuatan PKI yang berkisar pada penculikan dan pembunuhan
enam jendral Angkatan Darat, dan luka parah yang diderita anak perempuan
Jendral AH Nasution karena tembakan penculik. Pada tanggal 4 Oktober 1965,
peristiwa pengangkatan jenazah para jendral dari sumur mati di Lubang Buaya
dilakukan di bawah liputan wartawan dan sorotan kamera teve, radio dan media
pers lainnya. Seperti diketahui bahwa ada Visum et Repertum, Laporan
Pemeriksaan Bedah Mayat, tertanggal 5 Oktober 1965 dari tim lima dokter ahli
ilmu dokter kehakiman, yang dibentuk atas perintah Presiden Soekarno, yang
melukiskan di bawah sumpah secara terperinci kondisi jenazah. Laporan para
dokter ini, yang disampaikan juga kepada Jendral Suharto, diumumkan Presiden
Soekarno pada 9 Oktober 1965, tetapi tidak pernah disiarkan baik oleh
pemerintah maupu media masa.Visum et Repertum ini jelas mengingkari adanya
luka-luka karena sayatan atau pencongkelan mata dan menyebut a.l. tentang
keutuhan alat kelamin para korban.
Namun demikian pimpinan Angkatan Darat tidak
pernah mengumumkan hasil Visum et Repertum tersebut kepada masyarakat.
Sebaliknya bermunculan foto mayat-mayat yang sudah mulai membusuk dan rusak di
teve, di koran dan majalah, disertai uraian bahwa tanda-tanda bekas
penganiayaan di sekujur tubuh para korban, membuktikan kekejaman dan kebiadaban
G30S/PKI. Bahkan juga Jendral Soeharto pribadi memberi pernyataan seperti itu.
Rekayasa berita untuk menghasut kebencian
rakyat makin meningkat dengan pemberitaan dusta di pelbagai surat kabar perihal
orgi seksual anggota Gerwani dengan pemberontak G30S/PKI menjelang pembunuhan
para jendral. Dikatakan bahwa sembari melakukan orgi seksual anggota Gerwani
dengan pemberontak G30S/PKI menganiaya, mencongkel mata dan menyayati tubuh dan
alat kelamin para jendral dengan pisau silet sampai mati.
Fitnah semacam ini, tentang kebiadaban,
kekejian dan ke-a-susilaan anggota PKI maupun simpatisan PKI berfungsi untuk
meniadakan rasa salah rakyat, apabila kemudian mereka dilibatkan untuk
menganiaya, bahkan membunuh mahluk biadab dan a-susila tersebut.
Tentang hal ketiga, yaitu penyalahgunaan rasa
keagamaan untuk menghasut, dan menanam rasa kebencian terhadap Komunis. Tidak
jarang komunis disebut tidak bertuhan, ateis, malah musuh Tuhan. Alasannya
karena, begitu dikatakan, falsafah marxisme/leninisme tidak mengakui adanya
roh. Jadi juga tidak mengakui Tuhan, Roh Maha Sempurna. Karena itu jelas,
Komunisme anti-Tuhan. Pandangan ini mengabaikan kenyataan, bahwa hampir semua
anggota PKI, seperti juga semua bangsa Indonesia beragama; dan, bahwa kebanyakan
dari mereka menjadi anggota partai bukan karena menganut falsafah materialisme,
melainkan lebih karena mengharapkan partai tersebut mau memperjuangkan
kepentingannya. Akan tetapi hasutan-hasutan seperti di atas memang bukan
bermaksud menggambarkan kebenaran, melainkan menanamkan kebencian, menabur
gagasan bahwa memerangi PKI adalah wajib hukumnya, dan bahkan tidak haram untuk
mengalirkan darah orang komunis.
Tentang perihal keempat, yaitu menggerakkan
demonstrasi masal menuntut pembubaran dan/atau pembasnian PKI. Terhitung mulai
2 Oktober 1965 dengan dorongan Angkatan Darat, didirikan Kesatuan Aksi
Pengganyangan Gestapu (KAP-Gestapu) dan kemudian organisasi-organisasi Kesatuan
Aksi lainnya seperti KAMI, KAPPI dll. Kesatuan Aksi ini memelopori demonstrasi
mahasiswa/pelajar/pemuda yang terus-menerus mengutuk “Gestapu/PKI” dan semua
organisasi komunis.
Demonstrasi besar-besaran tersebut, yang
menandakan dukungan sosial memperkuat dan memperdalam emosi yang ditimbulkan
oleh kabar berita perihal kebusukan komunis. Angkatan Darat, kemudian,
mengadakan operasi penangkapan tokoh dan anggota kader PKI dan organisasi yang
berafiliasi dengannya di ibu kota maupun sekitarnya. Setelah itu disebarkan
desas-desus di jalanan, dan dikabarkan melalui media masa tentang ditemukannya
bukti-bukti rencana pemberontakan, tersimpan di dalam rumah/gedung orang-orang
komunis, seperti alat cungkil mata dan senjata lain, daftar nama musuh komunis
yang musti dibunuh dsb-nya.
Sebagai orang yang ikut mengalami peristiwa
di atas, Paul Moedikdo sebagai kriminolog, meninjau secara retrospektif,
rekayasa pembangkitan dan peningkatan rasa kebencian dan kemarahan rakyat
terhadap PKI dan organisasi pendukungnya. Dengan jujur ia mengakui, bahwa
rekayasa semacam itu sangat efektif.
Dampak kejahatan melawan kemanusiaan
Tentang dampak kejahatan melawan kemanusiaan
ini Paul Moedikdo melihatnya meliputi tiga bidang, yaitu (1) dampak atas
negara, (2) atas bangsa, dan (3) atas korban langsung termasuk keturunan
mereka.
Tentang yang pertama dijelaskan, bahwa dengan
jalan penghacuran PKI yang disertai pembantaian massal, Suharto mengukuhkan
kemadirian politik Angkatan Darat di dalam negara. Dengan demikian Angkatan
Darat menjurus menjadi negara di dalam negara. Ini berarti pula Angkatan Darat
memiliki kebebasan lebih besar, baik dalam campur tangan urusan pemerintahan
sipil, maupun terhadap lembaga negara lainnya seperti DPR, MPR dan Pengadilan
Sipil. Dengan begitu Angkatan Darat lebih menjurus memiliki kekebalan hukum.
Kemandirian Angkatan Darat yang bertambah
dilambangkan dalam bentuk lembaga pelaksanaan hukum istimewa KOPKAMTIB, yang
didirikan Jendral Soeharto untuk menanggulangi G30S, dan yang telah berkembang
menjadi lembaga pengawas keamanan yang paling berkuasa.
Berhasilnya pembantaian massal dengan
melibatkan rakyat, menjadi faktor penambah bagi kemampuan Angkatan Darat,
dengan mengatas-namakan rakyat, untuk mencapai tujuan-tujuannya sendiri.
Kemampuannya ini juga bertambah karena kesediaan rakyat untuk mengawasinya
telah menjadi berkurang, dengan lenyapnya kekuatan kiri dan bertambah angkernya
Angkatan Darat. Rakyat justru dibuat menjadi takut terhadp Angkatan Darat, yang
tega membinasakan semua lawan-lawannya.
Dengan bertambahnya kemampuan Angkatan Darat,
sekaligus bertambah pula kepercayaan pimpinannya, bahwa pelibatan rakyat dengan
jalan rekayasa atau paksa untuk tujuan militer, merupakan jalan yang wajar dan
effektif. Rekayasa-rekayasa politik dapat dilihat pada pembuatan Supersemar,
pembesaran dan peluasan kekuasaan KOPKAMTIB, pembetukan MPRS yang bersih dari
pendukung Presiden Soekarno, dan pencopotan segala wewenang Soekarno serta
“pelimpahan” kekuasaan negara tertinggi kepada Jendral Soeharto oleh MPRS.
Perkembangan politik 1966/1967 menunjukkan, bagaimana modus operandi
pembantaian massal juga digunakan Jendral Suharto untuk merebut kekuasaan
negara tertinggi dari tangan Presiden Soekarno, dengan menggerakkan Angkatan
Darat sebagai lembaga yang mandiri dan dengan melibatkan peran serta rakyat.
Untuk memperkuat kemandirian peranan Angkatan Darat dalam semua lembaga negara,
dikukuhkan dan diperluasnya lembaga Dwifungsi ABRI, yang pada hakikatnya
Dwifungsi Angkatan Darat.
Tentang dampak terhadap kurban langsung
kenyataan jelas telah berbicara sendiri. Mereka itu meliputi orang-orang yang
dituduh terlibat, sanak saudara mereka, bahkan juga teman-teman mereka, serta
barang siapa saja yang dipandang berfikir sama dengan mereka. Mereka semua
dianggap berbahaya, sehingga perlu dimasukkan di dalam penjara sekalipun jelas
tidak memenuhi persyaratan perundang-undangan untuk diajukan kepengadilan.
Kemudian direkayasa dengan membagi para tahanan G30S dalam golongan A, B, dan
C. Malahan mereka yang termasuk golongan B itu pun, juga tidak memenuhi
persyaratan perundang-undangan untuk diajukan ke pengadilan, dipenjarakan dan
diasingkan ke Pulau Buru dan melakukan kerja paksa bertahun-tahun.
Tidak sedikit pula dari mereka yang sedang
belajar di luar negeri dengan ikatan dinas negara dicabut paspor mereka,
sehingga kehilangan kewarga-negaraan berikut segala hak mereka, dan terpaksa
bermukim di luar negeri. Sehubungan ini Menteri Kehakiman dan HAM RI., Yusril
Ihza Mahendra, di dalam pidatonya di KBRI di Den Haag tanggal 17 Januari 2000,
menyatakan dengan terus terang bahwa tindakan pencabutan paspor tersebut
merupakan tindakan melanggar hukum, karena dilakukan oleh instansi KBRI yang
sesungguhnya tidak berwenang untuk itu.
Dalam hal dampak terhadap bangsa, jelas
tampak timbulnya perusakan citra moral dan hukum di dalam masyarakat Indonesia.
Kemunafikan merusak kejujuran, bukan hanya dalam bicara, melainkan juga dalam
perbuatan. Bukankah pembantaian dan modus operandi-nya itu sendiri merupakan
kejahatan melawan kemanusiaan, yang mustahil diingkari kekejamannya dan
disesali terjadinya? Yang terjadi justru sebaliknya, yaitu bahwa kejahatan
melawan manusia menjadi dianggap terpuji, dirayakan sebagai perbuatan amal,
perbuatan yang merupakan kemenangan Pancasila atas pemberontakan PKI serta
suatu bukti kesaktian Pancasila. Kejahatan melawan kemananusiaan itu didiamkan
oleh hampir seluruh bangsa Indonesia selama lebih dari 30 tahun.
Fungsi moral dan hukum yang penting ialah
untuk menentukan tujuan apa yang wajar kita ikhtiarkan. Fungsi lain daripadanya
ialah untuk pembatasan cara dan sarana yang dapat kita gunakan agar ikhtiar itu
berjalan wajar, etis dan adil. Tindakan pembantaian massal dan modus
operandinya bukan saja merupakan kejahatan melawan kemanusiaan, tetapi sebagai
tindakan politik yang melecehkan citra moral dan hukum, dalam mengutamakan cara
dan sarana untuk mencapai tujuan politik. Dampak pembenaran atau pendiamannya
juga tampak menggejala dengan merajalelanya paham dan praktek tujuan
menghalalkan semua cara. Bahwa hukum sekedar sarana untuk mencapai tujuan, dan
selalu dapat dikesampingkan.
Pembenaran dan pendiaman terhadap pembantaian
massal ini juga merongrong dan merusak kerangka moral referensi, yaitu kerangka
moral dan hukum yang secara efektif menjadi rujukan tindakan orang. Maka
timbullah budaya kekerasan semasa Orde Baru, serta yang mendorong bagi
berjangkitnya kejahatan-kejahatan lain. Karena kejahatan yang paling jahat pun
boleh dilakukan dan sudah dilakukan, maka tidak ada hambatan untuk melakukan
kejahatan-kejahatan lain yang “berukuran kecil”.
Oleh karenanya setelah terjadi kejahatan
melawan kemanusiaan yang terjadi pada tahun 1965/1966, terjadi lagi rangkaian
kejahatan-kejahatan melawan kemanusiaan yang dilakukan di Tanjung Priok, Aceh,
Timor Timur, dan di tempat-tempat lain lagi.
Dalam menutup ulasan ini, sesuai dengan
kesimpulan diskusi sarasehan, seperti telah disampaikan oleh Romo Al. Andang
dan sesuai pula dengan pokok pikiran yang disampaikan Paul Moedikdo, sekali
lagi pengulas ingin mengajak pembaca menjadikan peristiwa 30 September 1965
sebagai wacana, dengan tanpa melibatkan pada masalah-masalah kongkret yang
terjadi pada ujung malam 30 September 1965. Misalnya dengan berdebat tentang
sejauh mana keterlibatan atau pelibatan diri berbagai pihak dalam peristiwa
tersebut. Masalah tersebut baiklah diserahkan pada masyarakat sejarahwan untuk
mengaji dan menyimpulkannya.
Marilah kita memusatkan perhatian dan pikiran
pada masalah pembunuhan besar-besaran terhadap ratusan ribu, bahkan ada yang
mengatakan lebih dari satu juta jiwa, yang dilakukan oleh Suharto dan kliknya.
Rezim Orde Baru justru didirikan di atas genangan darah mereka yang tak berdosa
tersebut. Dengan demikian akan menjadi lebih jelas bagi kita, bahwa kejahatan
Suharto bukanlah hanya masalah KKN saja, tetapi ada kejahatan yang lebih besar
lagi, yaitu kejahatan melawan kemanusiaan, pelanggaran yang sangat berat
terhadap hak asasi manusia. (*)
Negeri Belanda, 30 September 2000
Wijanto Rachman, Anggota Indonesian Legal
Reform Working Group.
Sumber: arusbawah20
Sumber: arusbawah20



Comments
Post a Comment